Sekitar
lima tahun terakhir adalah Ramadhan yang indah bersama suami dan si
Kecil. Sebelumnya saya tidak bisa menemani dia full Sholat Tarawih di masjid
karena saya bekerja di luar dengan jam kerja sore sampai jam 9 malam. Kini
tidak lagi, saya 24 jam bersama . Ini benar-benar saya syukuri.
Saat ini si Kecil sudah usia 9
tahun. Puasanya beda dengan tahun-tahun sebelumnya. Sudah tampak enjoy dan
santai. Beda dengan tahun lalu, sedikit-sedikit mengeluh lapar dan haus.
Sekarang sudah minim sekali keluhannya. Ada beberapa hal sudah saya beritahu
ketika beberapa hari sebelum Ramadhan tiba. Sebelum tidur dia saja ajak untuk
ngobrol. Salah satu kebiasaan saya biasanya mendongeng dan bercerita sebelum
tidur dari masih balita. Saya ajak ngobrol, mengapa kita di suruh puasa sama
Allah? Mengapa kita di suruh lapar padahal lapar dan haus itu nggak enak?
Ternyata dia sangat antusias dengan pertanyaan-pertanyaan saya. Bahwa kita di
suruh belajar menahan nafsu. Timbullah pertanyaan dia. “Nafsu itu apa? Marah
?”. Saya jelaskan dengan ringan dan bahasa yang mudah dia pahami. Bahwa nafsu
itu bukan marah. Tapi keinginan manusia. Termasuk ingin marah, ingin kaya,
ingin jabatan , ingin mobil sepuluh, dan lainnya. Bahwa semua manusia punya
sifat dasar rakus. Kalau tidak dikendalikan, akan muncul kekacauan, pencurian,
dan lainnya. Makanya kita disuruh belajar sama Allah untuk puasa.
Alhamdulillah, dari penjelasan yang
singkat itu, si Kecil sudah mulai memahami sedikit demi sedikit. Tidak
ketinggalan setiap sore habis Asyar dia tetap mengaji di TPQ tadarusan.
Ohya, ada yang menarik dari kejadian
kecelakaan pesawat Hercules jatuh di Medan. Visi bertanya saat tidak sengaja
mendengar berita di TV. “Padahal pilotnya adalah pilot terbaik. Kenapa pesawat
bisa jatuh?”. Saya pikir inilah saat yang tepat untuk memasukkan nilai-nilai
keimanan. “Iya, Kak. Sepandai apapun pilotnya, secanggih apapun pesawatnya,
sehebat apapun teknologinya, kalau waktunya si pilot meninggal, ya meninggal.
Sudah di catat tanggalnya sama Allah sebelum dia lahir ke dunia. Semua orang
juga begitu. Bunda, Ayah, kamu dan semuanya, sudah di catat kapan meninggalnya.
Tapi tidak ada orang yang tahu”. Visi mengangguk sedih. “Kasihan, yaa…”. Hanya
itu yang keluar dari mulutnya….
0 komentar:
Posting Komentar